4 Alasan mengapa program Internship Dokter Indonesia harus direvisi / dihapuskan.
1. Tidak sesuai maksud dan tujuan awalnya. Dalam Permenkes No.299/Menkes/Per/II/2010 disebutkan bahwa Internship adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pamahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Sesuai dengan maksudnya seharusnya program Internship diselenggarakan di fasilitas kesehatan yang mapan, dengan pembimbing dokter senior yang juga kompeten. Kenyataannya dokter internship seringkali ditugaskan di daerah terpencil tanpa bimbingan dokter senior.
2. Tidak mensejahterakan dan merendahkan profesi dokter Indonesia. Program internship diikuti oleh seorang dokter yang telah menempuh pendidikan sarjana kedokteran (S-1) selama 4 tahun, dilanjutkan pendidikan profesi dokter / ko-asistensi selama 2 tahun. Lama pendidikannya setara S2 namun biaya yang dikeluarkan umumnya jauh lebih besar dari pendidikan S2. Setelah bekerja sebagai dokter internship nyatanya mereka lebih banyak bekerja dibandingkan belajar, namun dengan upah hanya 2,5 juta/bulan. Inipun seringkali telat dibayarkan. Upah sebesar itu tidak disertai insentif tambahan. Jadi hampir bisa dipastikan untuk mengikuti program internship seorang dokter justru harus mengeluarkan uang lebih untuk transportasi, akomodasi dan biaya makan sehari-hari. Peserta program internship adalah dokter yang telah dinyatakan kompeten setelah lulus Ujian Kompentensi Nasional dan telah mengambil sumpah dokternya. Penghargaan yang sedemikian rendah terhadap tenaga dokter merendahkan seluruh profesi dokter pada umumnya.
3. Tidak ada jaminan kesehatan Upah sebesar 2,5 juta/bulan tersebut masih harus dipotong pajak + iuran mengikuti BPJS Mandiri. Pemerintah sebagai pemberi kerja telah mengalihkan kewajibannya dalam memberikan jaminan kesehatan untuk pekerjanya (dokter). Padahal menurut UU ketenagakerjaan, pemberi kerja wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Selain itu kondisi penempatan kerja ditempat yang terpencil dan minim sarana mengharuskan pemerintah memiliki SOP / Contingency Plan yang baik sehingga jika terjadi kegawat-daruratan, dokter dapat dirujuk dengan cepat. Dalam kasus-kasus sebelumnya, termasuk kasus terbaru yang menimpa dr. Andra, keluarga dan teman-teman beliau harus kebingungan mencari sarana transportasi untuk memindahkan dr. Andra. Hal ini seharusnya tidak terjadi.
4. Tidak ada kompensasi Kejadian dokter meninggal di tempat tugas yang terpencil sudah bukan hal yang baru. Hampir setiap tahun terulang. Dalam setiap kejadian praktis tidak ada kompensasi dari pemberi kerja (pemerintah) untuk keluarga yang ditinggalkan. Dengan tingginya risiko kerja sudah sepantasnyalah pemerintah memberikan kompensasi yang layak / asuransi jiwa yang memadai sehingga keluarga yang ditinggalkan dapat terus hidup dengan layak. Kompensasi tersebut harus mempertimbangkan hal-hal seperti: 1) Biaya yang harus dikeluarkan orang tuanya dalam membesarkan anaknya hingga dewasa, 2) Biaya yang dikeluarkan selama menempuh pendidikan dokter, 3) Hilangnya potensi pendapatan sebagai dokter dengan memperhitungkan usia harapan hidup kebanyakan orang Indonesia.
Hal diatas adalah menurut saya adalah hal yang wajar. Seorang insinyur yang bekerja di pertambangan di daerah terpencil di Indonesia pasti menginginkan jaminan kesejahteraan, keamanan, kesehatan, bahkan kepastian untuk keluarganya jika hal yang terburuk terjadi. Dokter juga manusia. Karenanya sangat pantas jika saat ini program Internship Dokter Indonesia harus di revisi atau bahkan dihapuskan jika pemerintah tidak mampu mengoreksi setidaknya ke 4 hal diatas. Selamat jalan dr. Andra, semoga kedepannya nasib dokter Indonesia khususnya mereka yang PTT / menjalani Internship bisa lebih baik lagi.
Oleh Dr Ertapriadi
sumber : https://www.facebook.com/ertapriadi/posts/10206451607663641
1. Tidak sesuai maksud dan tujuan awalnya. Dalam Permenkes No.299/Menkes/Per/II/2010 disebutkan bahwa Internship adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan secara terintegrasi, komprehensif, mandiri, serta menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka pamahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Sesuai dengan maksudnya seharusnya program Internship diselenggarakan di fasilitas kesehatan yang mapan, dengan pembimbing dokter senior yang juga kompeten. Kenyataannya dokter internship seringkali ditugaskan di daerah terpencil tanpa bimbingan dokter senior.
2. Tidak mensejahterakan dan merendahkan profesi dokter Indonesia. Program internship diikuti oleh seorang dokter yang telah menempuh pendidikan sarjana kedokteran (S-1) selama 4 tahun, dilanjutkan pendidikan profesi dokter / ko-asistensi selama 2 tahun. Lama pendidikannya setara S2 namun biaya yang dikeluarkan umumnya jauh lebih besar dari pendidikan S2. Setelah bekerja sebagai dokter internship nyatanya mereka lebih banyak bekerja dibandingkan belajar, namun dengan upah hanya 2,5 juta/bulan. Inipun seringkali telat dibayarkan. Upah sebesar itu tidak disertai insentif tambahan. Jadi hampir bisa dipastikan untuk mengikuti program internship seorang dokter justru harus mengeluarkan uang lebih untuk transportasi, akomodasi dan biaya makan sehari-hari. Peserta program internship adalah dokter yang telah dinyatakan kompeten setelah lulus Ujian Kompentensi Nasional dan telah mengambil sumpah dokternya. Penghargaan yang sedemikian rendah terhadap tenaga dokter merendahkan seluruh profesi dokter pada umumnya.
3. Tidak ada jaminan kesehatan Upah sebesar 2,5 juta/bulan tersebut masih harus dipotong pajak + iuran mengikuti BPJS Mandiri. Pemerintah sebagai pemberi kerja telah mengalihkan kewajibannya dalam memberikan jaminan kesehatan untuk pekerjanya (dokter). Padahal menurut UU ketenagakerjaan, pemberi kerja wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja. Selain itu kondisi penempatan kerja ditempat yang terpencil dan minim sarana mengharuskan pemerintah memiliki SOP / Contingency Plan yang baik sehingga jika terjadi kegawat-daruratan, dokter dapat dirujuk dengan cepat. Dalam kasus-kasus sebelumnya, termasuk kasus terbaru yang menimpa dr. Andra, keluarga dan teman-teman beliau harus kebingungan mencari sarana transportasi untuk memindahkan dr. Andra. Hal ini seharusnya tidak terjadi.
4. Tidak ada kompensasi Kejadian dokter meninggal di tempat tugas yang terpencil sudah bukan hal yang baru. Hampir setiap tahun terulang. Dalam setiap kejadian praktis tidak ada kompensasi dari pemberi kerja (pemerintah) untuk keluarga yang ditinggalkan. Dengan tingginya risiko kerja sudah sepantasnyalah pemerintah memberikan kompensasi yang layak / asuransi jiwa yang memadai sehingga keluarga yang ditinggalkan dapat terus hidup dengan layak. Kompensasi tersebut harus mempertimbangkan hal-hal seperti: 1) Biaya yang harus dikeluarkan orang tuanya dalam membesarkan anaknya hingga dewasa, 2) Biaya yang dikeluarkan selama menempuh pendidikan dokter, 3) Hilangnya potensi pendapatan sebagai dokter dengan memperhitungkan usia harapan hidup kebanyakan orang Indonesia.
Hal diatas adalah menurut saya adalah hal yang wajar. Seorang insinyur yang bekerja di pertambangan di daerah terpencil di Indonesia pasti menginginkan jaminan kesejahteraan, keamanan, kesehatan, bahkan kepastian untuk keluarganya jika hal yang terburuk terjadi. Dokter juga manusia. Karenanya sangat pantas jika saat ini program Internship Dokter Indonesia harus di revisi atau bahkan dihapuskan jika pemerintah tidak mampu mengoreksi setidaknya ke 4 hal diatas. Selamat jalan dr. Andra, semoga kedepannya nasib dokter Indonesia khususnya mereka yang PTT / menjalani Internship bisa lebih baik lagi.
Oleh Dr Ertapriadi
sumber : https://www.facebook.com/ertapriadi/posts/10206451607663641
Komentar
Posting Komentar