Berawal dari kasus vaksinasi palsu dan pendistribusian obat termasuk vaksinasi dan beredarnya broadcast lewat whatsapp yang membingungkan para dokter yang mungkin hampir 50 % lebih menggunakan dispensing alias menyediakan obat dalam berpraktek kesehariannya.
Dan walaupun dalam sistem JKN dan di laksanakan oleh BPJS untuk dokter mandiri dan Klinik apabila tidak ada apotik bisa menyertakan surat kerjasama dengan apotik dan Laboratorium sehingga bisa dispensing (lihat aja dokter mandiri / klinik pratama yang bekerja sama dengan BPJS sebagian besar adalah dispensing) dalam melayani pasien.
Timbullah keresahan para dokter dengan efek berantai dari kasus Vaksin palsu. Memang sistem kesehatan kita masih perlu banyak di benahi. Selain dokter yang sudah kompeten,ada pula apotik menjual obat tanpa resep dokter,di daerah-daerah ada pula paramedis berpraktek layaknya dokter dengan memberikan pengobatan ataupun tindakan medis.
Jadi mari kita perbaiki sistem kesehatan nasional yang menyeluruh sehingga akan tercipta rasa aman nyaman bagi dokter,paramedis dan apotik begitu pula pasien-pasien mendapat kerasionalan atau ketepatan obat.
berikut draft nya :
Menyusul beredaranya pesan berantai mengenai rancangan Permenkes Praktek Dokter Perorangan yang salah satu pasalnya adalah melarang dokter praktek perorangan melakukan dispensing obat, berikut ini klarifikasi dari Biro Hukum dan Organisasi Kemenkes RI:
1. Saat ini sedang berproses pembahasan Rancangan Awal Permenkes Praktik Dokter Mandiri. Sebagaimana penyusunan Permenkes, pembahasannya melewati berbagai tahapan dari pembahasan substansi, rancangan awal, rancangan/Permenkes (legal drafting), proses finalisasi hingga penetapan. Proses pembahasannya pun melibatkan lintas program dan lintas sektor termasuk perhimpunan/asosiasi organisasi dan profesi.
2. Terkait dokter dan dispensing obat, dalam UU 29/2004, tentang Praktik Kedokteran pasal 35 i, dokter dalam menjalankan praktik memiliki kewenangan menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan. Huruf j, meracik dan menyerahkan obat kepada pasien di daerah yang tidak ada apotek.
3. Terkait penjabaran untuk pasal 35 dan i dan j, masih dalam pembahasan terutama obat-obatan yang dapat di simpan dokter. PB IDI dan IAI sepakat akan membahas hal tersebut setelah lebaran untuk menentukan jumlah dan jenis obat dimaksud.
4. Kewenangan menyimpan obat juga sejalan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan, dimana fasilitas kesehatan tidak boleh menolak pasien (dokter dalam memberikan pelayanan perlu obat-obatan dalam hal ini kedaruratan) dan ada ancaman pidananya.
5. Untuk materi obat yang disimpan dan yang diijinkan masih perlu di sepakati oleh IDI dan IAI, juga masukan dari pihak lain. Demikian juga pengertian darurat yang perlu dibahas adalah darurat dimana pasien segera memerlukan obat, dicontohkan ada pasien berobat ke praktek dokter tengah malam, akses apotek jauh atau tidak ada atau tidak buka.
6. Dalam rangka peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan, akan ditinjau kembali ketentuan yang berkaitan dengan dispensing bagi tenaga kesehatan selain dokter dan larangan apotik memberikan obat daftar G langsung tanpa resep.
7. Kemenkes pada prinsipnya akan menampung semua masukan dan usulan dari semua pihak sepanjang selaras dengan hirarki UU diatasnya. Diharapkan masukan dan usulan disampaikan melalui perhimpunan/asosiasi organisasi dan profesi atau melalui mekanisme lain yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya tanpa memunculkan polemik yang justru bisa mengaburkan substansinya.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.
Komentar
Posting Komentar