Perbaikan Sistem Pelayanan Kesehatan Primer atau Pembentukan Dokter Setara Spesialis Layanan Primer ?
oleh Dr Patrianef Patrianef
Sepertinya Pemerintah saat ini saling berpacu dengan organisasi profesi dokter dalam hal pembentukan Dokter Setara Spesialis Layanan Primer. Disatu sisi pemerintah ( Kemenkes dan Kemenristek Dikti) dengan segala sumber daya yang dimilikinya berusaha membentuk profesi ini sesegera mungkin, mereka mempunyai seluruh fasilitas yang memungkinkan untuk terlaksananya hal ini, ada uang, ada fakultas dan ada dokter yang mau dididik. Mereka sudah mulai mengawali pembentukan Program Studi ini, walaupun belum ada pendidiknya yang bergelar Setara Spesialis Layanan Primer. Mereka masih mengambil dari tenaga spesialis program studi yang lain. Disisi berlawanan, dalam hal ini organisasi profesi dokter berusaha menghambat, dengan segala keterbatasan yang mereka milki, anggaran yang tidak ada, sumber daya manusia non medis tidak ada, fakultas tidak ada, jaringan dan “link” ke legislatif terbatas. Pertarungan ini seperti pertarungan antara David dan Goliath. Sudah bisa di prediksi siapa pemenangnya.
Penentangan terhadap Pembentukan Dokter Setara Spesialis Layanan Primer ini berasal dari hampir seluruh cabang IDI dan disampaikan pada saat Muktamar IDI di Medan. Sehingga PB IDI harus melakukannya jika tidak mau di “ impeachment” oleh anggotanya yang akan menjadi preseden buruk kedepannya. Sehingga PB IDI terpaksalah melakoni peranan DavId melawan Goliath. Pertarungan yang tidak seimbang sudah berada didepan mata. Tentu saja para oportunis yang tidak melihat peluang menang dari David akan berada disisi Goliath. Dan tentu saja cukup banyak oportunis yang melihat dari sisi yang lebih realistis ketimbang yang idealis.
Penentangan dari dokter sebagian besar dilatar belakangi pengalaman mereka saat bertugas di pelayanan primer. Sebagian dokter Indonesia saat ini pernah bekerja di Pusat Pelayanan Primer karena kewajiban “ Wajib Kerja Sarjana” dan “ Penugasan Tidak Tetap” yang dikaitkan dengan perijinan sekolah spesialis. Sehingga mereka tahu persis kondisi pelayanan kesehatan di layanan primer. Mereka tahu persis bahwa masalahnya bukanlah pada kualitas dokternya tetapi lebih kepada faktor faktor diluar tenaga medisnya.
Kondisi saat ini kalau dimisalkan persis seperti pengemudi dan mobil. Sepintar apapun pengemudi, kalau mobil yang dibawanya jelek, cc kecil, ban sudah licin, umur mobil sudah tua, spare partnya memakai barang KW dan kanibal dari mobil lain, maka hasilnya akan tetap jelek. Malahan yang terjadi adalah si pengemudi frustrasi dan sering membiarkan mobilnya tergeletak begitu saja. Saat ini yang terjadi dengan program ini adalah peningkatan kualitas pengemudi, ibaratnya pengemudi dengan SIM A pribadi dijadikan SIM B Umum dan diasumsikan pengemudinya akan mampu membawa truk gandeng.
Gampang memang menyalahkan pengemudi, karena sistem kita memang begitu. Kalau ada kecelakaan pasti yang paling gampang disalahkan adalah pengemudi. Kalaupun mobil yang salah mungkin rem blong maka pengemudi tetap salah, mengapa masih mau mengemudikan mobil dengan kondisi tua dan rem yang jelek. Paling mudah menyalahkan pengemudi ketimbang menyalahkan pemilik mobil.
Itulah yang terjadi dengan sistem kesehatan kita saat ini. Kualitas pelayanan kesehatan yang rendah, ditimpakan kepada dokternya dengan asumsi kualitas dokter yang bekerja dilayanan primer rendah dan perlu di “upgrade” sehingga setara spesialis. Jalan fikiran yang sederhana dan sangat masuk akal jika kita asumsikan seperti pengemudi dan mobil. Padahal masalahnya jauh sangat rumit.
Pelayanan kesehatan di Pusat Pelayanan Primer saat ini seperti yang dialami oleh banyak dokter sangat jauh dari sempurna dan mungkin saja data diatas kertas yang ada di Kementerian berbeda dengan fakta dilapangan, karena pengawasan pengadaan barang sampai keujung negeri yang hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki sangat terbatas.
Yang pertama jumlah , walaupun terjadi peningkatan jumlah fasilitas pelayanan primer di seluruh daerah, tetapi tetap masih jauh dari memadai. Beberapa penelitian yang dilakukan diluar negeri menyatakan bahwa jarak tempuh dari pemukiman ke fasilitas kesehatan primer terdekat sebaiknya memerlukan waktu 15 menit. Konsep yang digunakan adalah mendekatkan pelayanan kesehatan ketengah perkampungan dan ketempat kerja. Konsep yang masih digunakan selama ini masih menggunakan konsep daerah. Kalau tahun 1980an masih memakai konsep 1 kecamatan satu puskesmas sekarang mungkin sudah bergeser , tetapi tetap belum bisa 1 Puskesmas untuk satu desa. Ini hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Mana ada daerah kita yang jarak tempuh ke Puskesmas 15 menit.
Yang kedua adalah infrastruktur. Jalan, listrik dan air bersih yang disebagian tempat masih merupakan barang mewah. Masih ada daerah yang listriknya hidup hanya pada malam hari, padahal banyak obat dan vaksin yang memerlukan kontinuitas mesin pendingin untuk keefektifannya. Kira kira bagaimana kualitas vaksin yang tidak selalu dalam kondisi dingin karean keterbatasan listrik. Di Kecamatan saja masih ada listrik yang terbatas, bagaimana kira kira didesa yang lebih jauh. Bisa diduga bahwa walaupun kuantitas masyarakat yang di vaksinasi banyak tetapi kualitasnya diragukan. Air bersih masyarakat masih sering menggunakan sumber yang tidak layak seperti . Wabah diare sering terjadi karena sistem pembuangan kotoran manusia yang masih menggunakan sungai. Tentu saja jalan yang belum mencapai ujung ujung negeri dan struktur geografis daerah yang bersungai dan berbukit memperjelek sistem transportasi pasien. Hal yang biasa bagi pasien memerlukan waktu seharian ke Puskesmas dengan menggunakan sepeda motor menyeberangi sungai dan menggunakan perahu kecil untuk mencapai Puskesmas.
Alat kesehatan. Bagi semua dokter ini adalah masalah mendasar di Fasilitas Layanan Primer. Ada asumsi dan itu diperkuat dengan "image" gambar dokter yang tersebar dimana mana, bahwa seorang dokter hanya menggunakan sebuah stetoskop. Itulah yang terjadi. Kalau dipuskesmas kadang masih ada alat diagnostik lain, tetapi di Puskesmas Pembantu yang ada hanyalah sebuah stetoskop dan sebuah tensimeter. Seperti benda ajaib saja stetoskop dan tensimeter yang dapat mendiagnosa banyak penyakit. "Image" yang masih terpelihara subur sampai saat ini. Padahal sebuah fasilitas kesehatan memerlukan alat pemeriksaan lain otoskop, rhinoskop, alat pemeriksaan mata, alat operasi minor, laboratorium sederhana. Yang lebih parah adalah bahwa alat alat yang sampai kedaerah itu sering tidak berfungsi, selain itu dana dan petugas yang berfungsi untuk pemeliharaan sering tidak ada sama sekali. Bagaimana seorang dokter bisa mendiagnosa jika hanya mengandalkan itu dan tragisnya alat itupun sering cepat rusak.
Obat obatan, banyak obat obatan yang tidak tersedia, bahkan kadang kadang obat obat tertentu bisa kosong dalam waktu cukup lama. Kadang jika terjadi wabah diare disuatu daerah , persediaan infus dipuskesmas terbatas demikian juga di kabupaten. Sehingga sering ada anekdot pasien bisa diinfus dengan air kelapa. Anekdot yang muncul akibat keterbatasan kita. Anekdot lain semua penyakit bisa diobati dengan cuma parasetamol dan CTM , konyolnya karena obat itu yang banyak, sangat sering doktedr puskesmas meresepkan obat itu.
Satu hal mungkin ikut berperanan sehingga kualitas pelayanan kesehatan rendah di Fasilitas Layanan Primer adalah Penghargaan dari Negara kepada mereka yang bertugas di daerah terpencil dan sangat terpencil. Mereka bertugas disana dengan segala keterbatasan dan penghargaan dan penggajian yang terbatas. Yang lebih memilukan adalah konsep perjalanan karir mereka sesudah selesai bertugas didaerah sangat terpencil.
Kami menerima keluhan dari salah seorang peserta yang mengabdi dengan ikut program Nusantara sehat yang sedang digalakkan pemerintah. Pada saat selesai menjalani program tersebut, mereka tidak punya cukup uang untuk melanjutkan pendidikan. Kurang apa nasionalis mereka dalam pengabdian. Tetapi untuk melanjutkan pendidikan spesialis tidak cukup dibayar hanya dengan bukti nasionalis. Perlu uang sebagai bukti kesiapan pendidikan dan melanjutkan hidup. Sekolah dan makan tidak dapat dibayar dengan hanya mengandalkan piagam penghargaan. Akibat dari penghargaan yang kurang maka tidak ada dokter yang mau bertugas lama, karena hidup berjalan terus dan biaya yang dibutuhkan semakin besar.
Agaknya Pemerintah perlu memikirkan lagi hal ini. Apakah memang perlu sopir mobil yang mampu membawa truk gandeng dengan SIM B2 Umum atau cukup sopir dengan Sim A Pribadi dengan kemampuan wajar tetapi menggunakan mobil bagus sehingga mobilnya mampu berjalan optimal.
Demi untuk Indonesia yang lebih baik diperlukan kedewasaan kita bersama, saling mengalah dan saling memberikan yang terbaik bagi bangsa dan rakyat Indonesia serta dunia kedokteran. Ini bukanlah pertempuran antara David dan Goliath. Ini bukanlah pertempuran kalah menang. Ada kecenderungan kearah sana saat ini. Kementerian pasti tidak akan mengalah karena menyangkut Program , Proyek yang sudah dianggarkan, Kegagalan melaksanakan Program dan Proyek tentu saja akan merusak reputasi mereka.
Diperlukan turun tangan Legislatif dan Bapak Presiden yang kita yakini bisa melihat dengan mata fisik yang lebih jernih. Karena menggunakan mata hati maka emosi lah yang lebih menonjol. Kese Demi untuk Indonesia yang lebih baik, kami sebagai dokter yang pernah bertugas di Fasilitas Layanan Primer menyatakan bahwa prioritas saat ini adalah kearah lebih memperbaiki sistem. Itulah tugas Kemenkes. Kualitas dokter yang rendah biarlah Kemenristekdikti yang memperbaiki dengan revisi kurikulum, bukan dengan menambah masa pendidikan
Jakarta, 25 September 2016
Patrianef Patrianef Sekjen P-PDIB ( Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu)
Seorang Spesialis, Subspesialis dan Konsultan Pernah bertugas di Fasilitas Layanan Primer daerah terpencil dan biasa
Sepertinya Pemerintah saat ini saling berpacu dengan organisasi profesi dokter dalam hal pembentukan Dokter Setara Spesialis Layanan Primer. Disatu sisi pemerintah ( Kemenkes dan Kemenristek Dikti) dengan segala sumber daya yang dimilikinya berusaha membentuk profesi ini sesegera mungkin, mereka mempunyai seluruh fasilitas yang memungkinkan untuk terlaksananya hal ini, ada uang, ada fakultas dan ada dokter yang mau dididik. Mereka sudah mulai mengawali pembentukan Program Studi ini, walaupun belum ada pendidiknya yang bergelar Setara Spesialis Layanan Primer. Mereka masih mengambil dari tenaga spesialis program studi yang lain. Disisi berlawanan, dalam hal ini organisasi profesi dokter berusaha menghambat, dengan segala keterbatasan yang mereka milki, anggaran yang tidak ada, sumber daya manusia non medis tidak ada, fakultas tidak ada, jaringan dan “link” ke legislatif terbatas. Pertarungan ini seperti pertarungan antara David dan Goliath. Sudah bisa di prediksi siapa pemenangnya.
Penentangan terhadap Pembentukan Dokter Setara Spesialis Layanan Primer ini berasal dari hampir seluruh cabang IDI dan disampaikan pada saat Muktamar IDI di Medan. Sehingga PB IDI harus melakukannya jika tidak mau di “ impeachment” oleh anggotanya yang akan menjadi preseden buruk kedepannya. Sehingga PB IDI terpaksalah melakoni peranan DavId melawan Goliath. Pertarungan yang tidak seimbang sudah berada didepan mata. Tentu saja para oportunis yang tidak melihat peluang menang dari David akan berada disisi Goliath. Dan tentu saja cukup banyak oportunis yang melihat dari sisi yang lebih realistis ketimbang yang idealis.
Penentangan dari dokter sebagian besar dilatar belakangi pengalaman mereka saat bertugas di pelayanan primer. Sebagian dokter Indonesia saat ini pernah bekerja di Pusat Pelayanan Primer karena kewajiban “ Wajib Kerja Sarjana” dan “ Penugasan Tidak Tetap” yang dikaitkan dengan perijinan sekolah spesialis. Sehingga mereka tahu persis kondisi pelayanan kesehatan di layanan primer. Mereka tahu persis bahwa masalahnya bukanlah pada kualitas dokternya tetapi lebih kepada faktor faktor diluar tenaga medisnya.
Kondisi saat ini kalau dimisalkan persis seperti pengemudi dan mobil. Sepintar apapun pengemudi, kalau mobil yang dibawanya jelek, cc kecil, ban sudah licin, umur mobil sudah tua, spare partnya memakai barang KW dan kanibal dari mobil lain, maka hasilnya akan tetap jelek. Malahan yang terjadi adalah si pengemudi frustrasi dan sering membiarkan mobilnya tergeletak begitu saja. Saat ini yang terjadi dengan program ini adalah peningkatan kualitas pengemudi, ibaratnya pengemudi dengan SIM A pribadi dijadikan SIM B Umum dan diasumsikan pengemudinya akan mampu membawa truk gandeng.
Gampang memang menyalahkan pengemudi, karena sistem kita memang begitu. Kalau ada kecelakaan pasti yang paling gampang disalahkan adalah pengemudi. Kalaupun mobil yang salah mungkin rem blong maka pengemudi tetap salah, mengapa masih mau mengemudikan mobil dengan kondisi tua dan rem yang jelek. Paling mudah menyalahkan pengemudi ketimbang menyalahkan pemilik mobil.
Itulah yang terjadi dengan sistem kesehatan kita saat ini. Kualitas pelayanan kesehatan yang rendah, ditimpakan kepada dokternya dengan asumsi kualitas dokter yang bekerja dilayanan primer rendah dan perlu di “upgrade” sehingga setara spesialis. Jalan fikiran yang sederhana dan sangat masuk akal jika kita asumsikan seperti pengemudi dan mobil. Padahal masalahnya jauh sangat rumit.
Pelayanan kesehatan di Pusat Pelayanan Primer saat ini seperti yang dialami oleh banyak dokter sangat jauh dari sempurna dan mungkin saja data diatas kertas yang ada di Kementerian berbeda dengan fakta dilapangan, karena pengawasan pengadaan barang sampai keujung negeri yang hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki sangat terbatas.
Yang pertama jumlah , walaupun terjadi peningkatan jumlah fasilitas pelayanan primer di seluruh daerah, tetapi tetap masih jauh dari memadai. Beberapa penelitian yang dilakukan diluar negeri menyatakan bahwa jarak tempuh dari pemukiman ke fasilitas kesehatan primer terdekat sebaiknya memerlukan waktu 15 menit. Konsep yang digunakan adalah mendekatkan pelayanan kesehatan ketengah perkampungan dan ketempat kerja. Konsep yang masih digunakan selama ini masih menggunakan konsep daerah. Kalau tahun 1980an masih memakai konsep 1 kecamatan satu puskesmas sekarang mungkin sudah bergeser , tetapi tetap belum bisa 1 Puskesmas untuk satu desa. Ini hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan. Mana ada daerah kita yang jarak tempuh ke Puskesmas 15 menit.
Yang kedua adalah infrastruktur. Jalan, listrik dan air bersih yang disebagian tempat masih merupakan barang mewah. Masih ada daerah yang listriknya hidup hanya pada malam hari, padahal banyak obat dan vaksin yang memerlukan kontinuitas mesin pendingin untuk keefektifannya. Kira kira bagaimana kualitas vaksin yang tidak selalu dalam kondisi dingin karean keterbatasan listrik. Di Kecamatan saja masih ada listrik yang terbatas, bagaimana kira kira didesa yang lebih jauh. Bisa diduga bahwa walaupun kuantitas masyarakat yang di vaksinasi banyak tetapi kualitasnya diragukan. Air bersih masyarakat masih sering menggunakan sumber yang tidak layak seperti . Wabah diare sering terjadi karena sistem pembuangan kotoran manusia yang masih menggunakan sungai. Tentu saja jalan yang belum mencapai ujung ujung negeri dan struktur geografis daerah yang bersungai dan berbukit memperjelek sistem transportasi pasien. Hal yang biasa bagi pasien memerlukan waktu seharian ke Puskesmas dengan menggunakan sepeda motor menyeberangi sungai dan menggunakan perahu kecil untuk mencapai Puskesmas.
Alat kesehatan. Bagi semua dokter ini adalah masalah mendasar di Fasilitas Layanan Primer. Ada asumsi dan itu diperkuat dengan "image" gambar dokter yang tersebar dimana mana, bahwa seorang dokter hanya menggunakan sebuah stetoskop. Itulah yang terjadi. Kalau dipuskesmas kadang masih ada alat diagnostik lain, tetapi di Puskesmas Pembantu yang ada hanyalah sebuah stetoskop dan sebuah tensimeter. Seperti benda ajaib saja stetoskop dan tensimeter yang dapat mendiagnosa banyak penyakit. "Image" yang masih terpelihara subur sampai saat ini. Padahal sebuah fasilitas kesehatan memerlukan alat pemeriksaan lain otoskop, rhinoskop, alat pemeriksaan mata, alat operasi minor, laboratorium sederhana. Yang lebih parah adalah bahwa alat alat yang sampai kedaerah itu sering tidak berfungsi, selain itu dana dan petugas yang berfungsi untuk pemeliharaan sering tidak ada sama sekali. Bagaimana seorang dokter bisa mendiagnosa jika hanya mengandalkan itu dan tragisnya alat itupun sering cepat rusak.
Obat obatan, banyak obat obatan yang tidak tersedia, bahkan kadang kadang obat obat tertentu bisa kosong dalam waktu cukup lama. Kadang jika terjadi wabah diare disuatu daerah , persediaan infus dipuskesmas terbatas demikian juga di kabupaten. Sehingga sering ada anekdot pasien bisa diinfus dengan air kelapa. Anekdot yang muncul akibat keterbatasan kita. Anekdot lain semua penyakit bisa diobati dengan cuma parasetamol dan CTM , konyolnya karena obat itu yang banyak, sangat sering doktedr puskesmas meresepkan obat itu.
Satu hal mungkin ikut berperanan sehingga kualitas pelayanan kesehatan rendah di Fasilitas Layanan Primer adalah Penghargaan dari Negara kepada mereka yang bertugas di daerah terpencil dan sangat terpencil. Mereka bertugas disana dengan segala keterbatasan dan penghargaan dan penggajian yang terbatas. Yang lebih memilukan adalah konsep perjalanan karir mereka sesudah selesai bertugas didaerah sangat terpencil.
Kami menerima keluhan dari salah seorang peserta yang mengabdi dengan ikut program Nusantara sehat yang sedang digalakkan pemerintah. Pada saat selesai menjalani program tersebut, mereka tidak punya cukup uang untuk melanjutkan pendidikan. Kurang apa nasionalis mereka dalam pengabdian. Tetapi untuk melanjutkan pendidikan spesialis tidak cukup dibayar hanya dengan bukti nasionalis. Perlu uang sebagai bukti kesiapan pendidikan dan melanjutkan hidup. Sekolah dan makan tidak dapat dibayar dengan hanya mengandalkan piagam penghargaan. Akibat dari penghargaan yang kurang maka tidak ada dokter yang mau bertugas lama, karena hidup berjalan terus dan biaya yang dibutuhkan semakin besar.
Agaknya Pemerintah perlu memikirkan lagi hal ini. Apakah memang perlu sopir mobil yang mampu membawa truk gandeng dengan SIM B2 Umum atau cukup sopir dengan Sim A Pribadi dengan kemampuan wajar tetapi menggunakan mobil bagus sehingga mobilnya mampu berjalan optimal.
Demi untuk Indonesia yang lebih baik diperlukan kedewasaan kita bersama, saling mengalah dan saling memberikan yang terbaik bagi bangsa dan rakyat Indonesia serta dunia kedokteran. Ini bukanlah pertempuran antara David dan Goliath. Ini bukanlah pertempuran kalah menang. Ada kecenderungan kearah sana saat ini. Kementerian pasti tidak akan mengalah karena menyangkut Program , Proyek yang sudah dianggarkan, Kegagalan melaksanakan Program dan Proyek tentu saja akan merusak reputasi mereka.
Diperlukan turun tangan Legislatif dan Bapak Presiden yang kita yakini bisa melihat dengan mata fisik yang lebih jernih. Karena menggunakan mata hati maka emosi lah yang lebih menonjol. Kese Demi untuk Indonesia yang lebih baik, kami sebagai dokter yang pernah bertugas di Fasilitas Layanan Primer menyatakan bahwa prioritas saat ini adalah kearah lebih memperbaiki sistem. Itulah tugas Kemenkes. Kualitas dokter yang rendah biarlah Kemenristekdikti yang memperbaiki dengan revisi kurikulum, bukan dengan menambah masa pendidikan
Jakarta, 25 September 2016
Patrianef Patrianef Sekjen P-PDIB ( Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu)
Seorang Spesialis, Subspesialis dan Konsultan Pernah bertugas di Fasilitas Layanan Primer daerah terpencil dan biasa
Komentar
Posting Komentar