Oleh
Abdul Razak Thaha Ketua Dewan Pakar PB IDI
Pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan publik harus berbasis bukti (Evidence Based Decision Making), tujuannya adalah agar keputusan yang diambil tepat, terutama di saat-saat situasi sulit. Harus dimulai dengan penilaian sistematik (critical appraisal) terhadap bukti yang ada dan berbahaya jika keputusan dibuat hanya berdasarkan asumsi saja, apalagi keputusan besar yang menyangkut masa depan bangsa dan Negara.
Program Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) ini dirancang oleh Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer, Kementerian Pendidikan Tinggi & Ristek bersama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015. Pada hal, tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki gelar DLP (Primary Care Physician). Gelar GP (General Practitioner) atau FP (Family Physician) di luar negeri adalah Dokter (umum) yang bekerja pada layanan primer, baik perorangan maupun keluarga. Mereka lulusan Fakultas Kedokteran melalui jenjang pendidikan yang sama dengan lulusan Dokter (umum) di Indonesia.
HPEQ Project 2009 – 2014 melalui pinjaman dari Bank Dunia: tidak ada rekomendasi Program Studi DLP. WHO dan WONCA merekomendasikan dokter yang bekerja di layanan primer dengan kriteria ‘Five Star Doctor’, yang telah dijadikan kriteria dari capaian pendidikan dokter Indonesia sejak 2007, dan menjadi dasar penyusunan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 dan sudah mulai diterapkan sejak tahun 2013. Sebagai contoh adalah Kurikulum FK UI Jakarta mengacu pada Program Standar Internasional di bidang pendidikan kedokteran yang ditetapkan oleh World Federation of Medical Education (WFME).
Dokter Bintang Lima (The Five Star Doctor) berarti dokter yang mampu berperan sebagai Penyedia Pelayanan Kesehatan & Perawatan (Care provider), Pengambil Keputusan (Decision-maker), Komunikator yang baik (Communicator), Pemimpin Masyarakat (Community leader), dan Pengelola Manajemen (Manager). Serupa dengan SKDI 2012 dan tidak jauh berbeda dengan RPP Pelaksanaan UU No. 20/2013 Tentang Pendidikan Kedokteran Bab III, Pasal 15, Ayat (3). Tidak ada perbedaan yang demikian besar dan signifikan, sehingga pendidikan formal tambahan sebagai DLP selama 3 tahun, patut diperdebatkan. Tambahan ini justru berpotensi mengganggu pelayanan pada tingkat primer dan pada gilirannya merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dokter.
Jalan Panjang Pendidikan Dokter Indonesia meliputi Pendidikan Dasar Kedokteran selama 4 Tahun untuk menjadi S.Ked. Kemudian mengikuti Kepaniteraan klinik di RS Pendidikan selama 2 Tahun dan menjalani ujian kompetensi (UKMPPD) dengan masa tunggu sekitar 3-6 bulan untuk memperoleh Ijazah dokter, Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi dari Organisasi Profesi. Dilanjutkan dengan proses Pendaftaran pada KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) untuk memperoleh STR (Surat Tanda Registrasi). Lalu menunggu giliran internship ke RS jejaring dan puskesmas minimal 6 bulan, kemudian mengikuti internship (pemahiran) selama 1 Tahun untuk memperoleh SIP (Surat Ijin Praktek). Total: diperlukan waktu minimum 8 tahun untuk sampai dapat berpraktik mandiri dengan STR definitif sebagai dokter. Apabila UU Dikdok tentang DLP dijalankan, maka masa belajar bertambah 3 tahun, mejadi total waktu 11 tahun, baru dapat berperan sebagai dokter.
Hasil UKMPPD mengindikasikan bahwa akar masalah berada pada proses belajar-mengajar pada institusi pendidikan kedokteran. Tegasnya akar masalahnya terletak pada Institusi Pendidikan Kedokteran sebagai pabrik penghasil dokter. Yang harus dilakukan adalah perbaiki pabrik yang bermasalah, bukan membuat pabrik baru. Kondisi Obyektif FK se-Indonesia sampai Maret 2016, pendidikan dokter dilakukan di 75 PT yang terdiri 33 PTN dan 42 PTS dengan 17 berakreditasi A, 28 berakreditasi B dan 30 berakreditasi C. Setiap tahun lahir 8.000 dokter baru, yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kedokteran dengan variasi akreditasi. Apa yang telah dilakukan? Ternyata bukan memperbaiki mutu 58 FK yang berakreditasi B dan C, tetapi pemerintah bahkan memberikan izin 8 Prodi Kedokteran baru pada Maret 2016. Pada hal klasifikasi 8 Prodi tersebut berdasarkan hasil keputusan rapat Tim Visitasi Nasional Kemenristek Dikti pada Desember 2015 terdiri 3 prodi memenuhi syarat minimum untuk akreditasi C, 4 prodi belum memenuhi syarat minimum dan diberi kesempatan memperbaiki diri selama tahun 2016 untuk dilakukan visitasi ulang, dan 1 prodi bahkan belum pernah divisitasi sama sekali.
DLP adalah sebuah kesalahan, karena masuknya DLP ke dalam UU Dikdok tidak didukung kajian akademik. Diakui oleh beberapa pihak bahwa ide DLP datang tiba-tiba. Justifikasi gaji DLP lebih besar karena disetarakan dengan dokter spesialis tidak berdasar. Tidak ada hubungan besarnya bayaran kepada dokter di layanan primer dengan prodi DLP. Di banyak negara maju GP justru mendapat ‘income’ lebih tinggi dari sebagian dokter ahli, tanpa perlu diberi embel-embel setara spesialis. Sistem penggajianlah yang harus dirancang untuk mengatur hal itu.
Kesimpulan Kajian PB IDI :
1. Pemerintah belum melihat masalah layanan primer secara holistik, akibatnya lahir berbagai keputusan yang fragmented, yang berpotensi mengundang masalah baru.
2. Pendidikan formal DLP bukan pilihan yang tepat untuk meningkatkan kompetensi dokter umum yang bekerja layanan primer.
3. Walaupun aturan pelaksana dari UU No. 20/2013 tentang Dikdok (Peraturan Pemerintah dan Permen) belum diterbitkan, namun pendidikan DLP sudah dilaksanakan dengan menggunakan dana APBN.
4. Keputusan (besar) tanpa didahului riset lapangan yang seksama, dan hanya didasarkan pada asumsi, apalagi jika asumsinya keliru, adalah sangat berbahaya.
5. Tawaran IDI untuk mengatasi masalah ini adalah bukan pendidikan formal DLP, hentikan semua kegiatan sosialisasi, persiapan dan pelaksanaannya, kemudian kita semua melakukan penilaian sistematik (critical appraisal), untuk membentuk sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik
Share dari Dr Eva Sridiana
Abdul Razak Thaha Ketua Dewan Pakar PB IDI
Pengambilan keputusan dalam pembuatan kebijakan publik harus berbasis bukti (Evidence Based Decision Making), tujuannya adalah agar keputusan yang diambil tepat, terutama di saat-saat situasi sulit. Harus dimulai dengan penilaian sistematik (critical appraisal) terhadap bukti yang ada dan berbahaya jika keputusan dibuat hanya berdasarkan asumsi saja, apalagi keputusan besar yang menyangkut masa depan bangsa dan Negara.
Program Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) ini dirancang oleh Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer, Kementerian Pendidikan Tinggi & Ristek bersama dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2015. Pada hal, tidak ada satupun negara di dunia yang memiliki gelar DLP (Primary Care Physician). Gelar GP (General Practitioner) atau FP (Family Physician) di luar negeri adalah Dokter (umum) yang bekerja pada layanan primer, baik perorangan maupun keluarga. Mereka lulusan Fakultas Kedokteran melalui jenjang pendidikan yang sama dengan lulusan Dokter (umum) di Indonesia.
HPEQ Project 2009 – 2014 melalui pinjaman dari Bank Dunia: tidak ada rekomendasi Program Studi DLP. WHO dan WONCA merekomendasikan dokter yang bekerja di layanan primer dengan kriteria ‘Five Star Doctor’, yang telah dijadikan kriteria dari capaian pendidikan dokter Indonesia sejak 2007, dan menjadi dasar penyusunan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 dan sudah mulai diterapkan sejak tahun 2013. Sebagai contoh adalah Kurikulum FK UI Jakarta mengacu pada Program Standar Internasional di bidang pendidikan kedokteran yang ditetapkan oleh World Federation of Medical Education (WFME).
Dokter Bintang Lima (The Five Star Doctor) berarti dokter yang mampu berperan sebagai Penyedia Pelayanan Kesehatan & Perawatan (Care provider), Pengambil Keputusan (Decision-maker), Komunikator yang baik (Communicator), Pemimpin Masyarakat (Community leader), dan Pengelola Manajemen (Manager). Serupa dengan SKDI 2012 dan tidak jauh berbeda dengan RPP Pelaksanaan UU No. 20/2013 Tentang Pendidikan Kedokteran Bab III, Pasal 15, Ayat (3). Tidak ada perbedaan yang demikian besar dan signifikan, sehingga pendidikan formal tambahan sebagai DLP selama 3 tahun, patut diperdebatkan. Tambahan ini justru berpotensi mengganggu pelayanan pada tingkat primer dan pada gilirannya merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan dokter.
Jalan Panjang Pendidikan Dokter Indonesia meliputi Pendidikan Dasar Kedokteran selama 4 Tahun untuk menjadi S.Ked. Kemudian mengikuti Kepaniteraan klinik di RS Pendidikan selama 2 Tahun dan menjalani ujian kompetensi (UKMPPD) dengan masa tunggu sekitar 3-6 bulan untuk memperoleh Ijazah dokter, Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi dari Organisasi Profesi. Dilanjutkan dengan proses Pendaftaran pada KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) untuk memperoleh STR (Surat Tanda Registrasi). Lalu menunggu giliran internship ke RS jejaring dan puskesmas minimal 6 bulan, kemudian mengikuti internship (pemahiran) selama 1 Tahun untuk memperoleh SIP (Surat Ijin Praktek). Total: diperlukan waktu minimum 8 tahun untuk sampai dapat berpraktik mandiri dengan STR definitif sebagai dokter. Apabila UU Dikdok tentang DLP dijalankan, maka masa belajar bertambah 3 tahun, mejadi total waktu 11 tahun, baru dapat berperan sebagai dokter.
Hasil UKMPPD mengindikasikan bahwa akar masalah berada pada proses belajar-mengajar pada institusi pendidikan kedokteran. Tegasnya akar masalahnya terletak pada Institusi Pendidikan Kedokteran sebagai pabrik penghasil dokter. Yang harus dilakukan adalah perbaiki pabrik yang bermasalah, bukan membuat pabrik baru. Kondisi Obyektif FK se-Indonesia sampai Maret 2016, pendidikan dokter dilakukan di 75 PT yang terdiri 33 PTN dan 42 PTS dengan 17 berakreditasi A, 28 berakreditasi B dan 30 berakreditasi C. Setiap tahun lahir 8.000 dokter baru, yang dihasilkan oleh institusi pendidikan kedokteran dengan variasi akreditasi. Apa yang telah dilakukan? Ternyata bukan memperbaiki mutu 58 FK yang berakreditasi B dan C, tetapi pemerintah bahkan memberikan izin 8 Prodi Kedokteran baru pada Maret 2016. Pada hal klasifikasi 8 Prodi tersebut berdasarkan hasil keputusan rapat Tim Visitasi Nasional Kemenristek Dikti pada Desember 2015 terdiri 3 prodi memenuhi syarat minimum untuk akreditasi C, 4 prodi belum memenuhi syarat minimum dan diberi kesempatan memperbaiki diri selama tahun 2016 untuk dilakukan visitasi ulang, dan 1 prodi bahkan belum pernah divisitasi sama sekali.
DLP adalah sebuah kesalahan, karena masuknya DLP ke dalam UU Dikdok tidak didukung kajian akademik. Diakui oleh beberapa pihak bahwa ide DLP datang tiba-tiba. Justifikasi gaji DLP lebih besar karena disetarakan dengan dokter spesialis tidak berdasar. Tidak ada hubungan besarnya bayaran kepada dokter di layanan primer dengan prodi DLP. Di banyak negara maju GP justru mendapat ‘income’ lebih tinggi dari sebagian dokter ahli, tanpa perlu diberi embel-embel setara spesialis. Sistem penggajianlah yang harus dirancang untuk mengatur hal itu.
Kesimpulan Kajian PB IDI :
1. Pemerintah belum melihat masalah layanan primer secara holistik, akibatnya lahir berbagai keputusan yang fragmented, yang berpotensi mengundang masalah baru.
2. Pendidikan formal DLP bukan pilihan yang tepat untuk meningkatkan kompetensi dokter umum yang bekerja layanan primer.
3. Walaupun aturan pelaksana dari UU No. 20/2013 tentang Dikdok (Peraturan Pemerintah dan Permen) belum diterbitkan, namun pendidikan DLP sudah dilaksanakan dengan menggunakan dana APBN.
4. Keputusan (besar) tanpa didahului riset lapangan yang seksama, dan hanya didasarkan pada asumsi, apalagi jika asumsinya keliru, adalah sangat berbahaya.
5. Tawaran IDI untuk mengatasi masalah ini adalah bukan pendidikan formal DLP, hentikan semua kegiatan sosialisasi, persiapan dan pelaksanaannya, kemudian kita semua melakukan penilaian sistematik (critical appraisal), untuk membentuk sistem pelayanan kesehatan yang lebih baik
Share dari Dr Eva Sridiana
Komentar
Posting Komentar