Silahkan baca baca bukunya Tentang Kembali ke Nol (inspiratif untuk Bangkit) |
Tulisan ini bersumber dari Hengki Saputro Alumni KAGAMA seorang enterpreuner yang belakangan ini menceritakan bagaimana Radikalisme dan tentang pengalaman sendiri dan bagaimana cerita seseorang direkrut menjadi radikalisme
dan salah satu tulisannya seperti dibawah ini
Saya hampir melupakan masalah itu ketika tiba-tiba muncul sebuah SMS di suatu malam. Jam 9 malam tepat.
"Bos, aku tunggu di depan kost." Dari teman saya itu lagi.
Saya baru ingat hari ini pas 7 hari setelah terakhir kali ikut kajian. Sialan, masih lanjut ternyata.
"Aku wis wegah melu. Kan jaremu kajiane wis mandeg nek aku wegah maca mitsaq." balas saya. Tak ada balasan lagi selama beberapa saat. Saya menghembuskan nafas lega, dan bersiap mau keluar, mau nongkrong di angkringan langganan saya.
"Waduuhh..!!" Saya terlonjak kaget, nyaris menabrak seseorang yang berdiri diam di depan pintu kamar saya. Orang itu teman saya yang SMS tadi. Sejak kapan dia di sini, batin saya.
"Sorry, Bos.. koe wis ditunggu. Sing nampa mitsaqmu ngko Mas X dewe, pimpinan kita. Iki kehormatan lho, Mas." kata dia sambil menggenggam lengan saya.
Bodo amat, rutuk saya dalam hati. Saya melepaskan diri dari cekalan tangannya. "Aku wegah. Wegah tenan. Percuma koe mekso!" sahut saya keras dan tegas.
Dia kaget melihat kemarahan saya. "Bos, konsekuensi ne berat lho. Aku ngko yo melu kena masalah gara-gara koe." bujuknya.
Ini adalah cercaan seorang teman yang disampaikan ke saya oleh teman lainnya. Saya cuek saja menanggapinya. Urusan apakah saya akan melawan siapa ataupun berkawan dengan siapa adalah urusan pribadi saya. Orang lain mau berpikir apa ya silahkan saja. Saya tidak punya kemampuan mengatur pikiran orang lain.
Perubahan perilaku saya menyikapi radikalisme bukan sejak saya jualan sambal, namun sudah agak lama sebelumnya. Memang sesudah bersentuhan dengan sekelompok orang yang mendoktrin saya dengan paham terorisme, saya mudah jengkel dengan mereka yang sedikit-sedikit membawa agama, memakai atribut agama, atau berbicara atas nama/mengkaitkan sesuatu dengan agama, apalagi kalau konteksnya tidak pas. Ibarat pamer kebodohannya saja.
Perubahan itu terjadi berawal dari ajakan seorang teman saat saya berdomisili di Jogja, sekitar tahun 2018. Saat itu saya diundang seorang teman untuk nongkrong di sebuah kedai kopi di pinggiran utara kota Jogja. Teman saya ini berprofesi sebagai jurnalis sudah belasan tahun.
Saya mengajak istri karena kami bertiga sudah saling mengenal sejak SMA. Kedai kopi itu cukup bagus, cukup luas juga, dan murah menu-menunya, khas Jogja.
"Kedai kopi iki sing mengelola mantan napiter (narapidana teroris). Kabeh sing nyambut gawe neng kene iki mantan napiter. Semuanya masuk program deradikalisasi BNPT." Demikian teman saya menjelaskan setelah kami sejenak berbasa-basi.
Saya dan istri manggut-manggut, lantas kami spontan menengok sekeliling, mencermati sekali lagi seluruh sudut kedai ini, sekalian mengamati mereka yang bekerja di sini, para mantan napiter itu. Tidak ada yang istimewa dari mereka. Tidak bertampang seram, mata melotot, atau badan berotot. Semuanya biasa saja.
Pakaian mereka juga biasa saja. Ada yang mengenakan baju koko, ada juga yang bercelana cingkrang, tapi juga ada yang berkaos dan bercelana panjang biasa. Tidak berpakaian seperti orang Arab juga. Perilaku, gestur, dan cara mereka berinteraksi dengan pelanggan atau dengan sesama rekannya juga biasa saja.
Kami tidak akan tahu kalau mereka mantan napiter jika teman kami ini tidak memberitahu.
"Mereka dilatih wirausaha." Saya bergumam, heran dan takjub.
"Yo mung kui cara yang pas. Masuk ke dunia kerja yo ora bakal iso. Selain dibenahi pemahaman dan pemikiran tentang agama, kudu diberi penghidupan juga.
Wirausaha memang sing paling pas." kata teman saya.
Sungguh solusi yang bagus, batin saya.
Ingatan saya kemudian melayang ke momen ketika saya bersinggungan dengan salah satu kelompok teroris tersebut 10 tahun lalu. Seandainya waktu itu saya masih punya usaha, tidak mungkin saya bisa tergiur ikut pengajian tidak jelas itu, apalagi sampai ikut 3 kali.
Beberapa bulan lalu, ingatan tentang kunjungan ke kedai itu tiba-tiba menyeruak di saat saya mulai getol menulis tentang wirausaha. Saya sadar, jalur wirausaha mungkin sulit ditekuni oleh mereka yang kehidupannya lurus dan baik-baik saja, tapi bisa saja akan menjadi penyelamat buat mereka yang pernah menyimpang, buat mereka yang terlempar keluar sistem, juga buat mereka yang tidak bisa diterima oleh sistem dunia kerja.
Kunjungan ke kedai itu bagi saya menjadi semacam perjalanan spiritual, yang menguatkan tekad saya untuk selalu berbagi ilmu dan pengalaman berwirausaha.
Jadi jika ada orang bertanya masihkah saya getol memerangi radikalisme, saya akan jawab dengan tegas bahwa saya akan terus melawan fundamentalisme dan radikalisme itu.
Dan inilah cara saya.
Jumlah korban paham radikal yang terbanyak itu bisa dibagi dalam dua kategori: Pertama, anak muda yang masih mencari identitas.
Kedua, orang dewasa yang sedang limbung (biasanya karena masalah ekonomi).
Kedua kategori ini adalah pintu masuk mereka untuk terus merekrut anggota baru.
Saya memang tidak bisa berbuat banyak untuk membentengi anak-anak muda itu, tapi saya bisa berbuat sesuatu untuk orang-orang dewasa yang sedang limbung karena masalah ekonomi.
Mungkin tidak sehebat BNPT yang mampu membimbing dan memberi modal hingga sebuah usaha dengan banyak lapangan kerja terwujud, tapi setidaknya saya bisa menginspirasi individu-individu yang mau belajar dan melatih diri di jalur wirausaha.
Ini adalah jihad saya.
Dan saya sadar tidak akan mampu melakoninya sendiri. Kalau pun mampu efeknya juga sangat kecil. Karena itulah saya mengajak teman-teman lain yang punya ilmu dan pengalaman berwirausaha untuk ikut berjuang. Salah satunya dengan menulis sebuah buku antologi tentang pengalaman dan pemahaman berwirausaha.
Buku ini kami beri judul Per Ardua Ad Astra (Melalui Rintang Menuju Bintang), yang saat ini sedang launching dan masih bisa dipesan.
Lalu apa yang bisa kita semua lakukan untuk mendukung pemberantasan terorisme? Kita bisa melakukan hal yang sebenarnya sederhana namun sangat susah dilakukan oleh sebagian orang, yaitu berhenti dari aktivitas saling memusuhi, saling meremehkan, dan saling menghina. Berhenti menyebut orang lain cebong/kampret, radikal/kafir. Itu saja dulu.
Buat yang sepakat dengan sistem demokrasi, mari kita saling mencerdaskan sekaligus membiasakan diri berpikiran terbuka. Kita bisa sama-sama kritis sehingga pengawasan terhadap pemerintah bisa dilakukan bersama secara dewasa. Kalau pemerintah yang terpilih tidak mampu memenuhi janji-janjinya, dengan sendirinya dia tidak akan terpilih lagi, kalau perlu selamanya tidak kita pilih menduduki jabatan apapun.
Demokrasi yang sehat membutuhkan pemahaman yang sehat dari sebagian besar rakyat. Tidak akan ada propaganda dan pembelahan seperti yang saat ini terjadi karena propaganda tidak akan laku dalam masyarakat yang pemahamannya sehat.
Kita semua sedang berproses menuju kedewasaan berdemokrasi. Proses ini akan berjalan bagus jika semua orang bisa memahami bahwa kita sedang berproses. Segala gesekan dan keriuhan wajar terjadi dalam suatu proses pendewasaan. Selama kita menanggapi gesekan dan keriuhan ini dengan emosi, maka oknum-oknum yang menangguk keuntungan akan terus memainkan politik propaganda ini, dan dampaknya kita akan semakin terbelah, kedewasaan berpolitik akan sulit kita capai, sementara oknum-oknum itu akan terus menangguk keuntungan. Begitu terus seperti lingkaran setan hingga negeri kita hancur tinggal ampasnya.
Tidak akan ada oknum pemimpin yang mampu melawan kehendak rakyat yang punya pemahaman sehat dalam berpolitik dan berdemokrasi. Mereka akan terjungkal dengan sendirinya. Tidak akan ada pemimpin yang berani main-main dengan kepercayaan yang diberikan pada mereka. Begitulah yang terjadi jika kita semua dewasa dalam berdemokrasi. Dan kedewasaan berdemokrasi ini bisa kita awali dengan cara mudah : berhenti saling memusuhi.
Rasa terima kasih setulus hati saya sampaikan pada Anda semua yang telah begitu setia mengikuti serial tulisan 'Melawan Fundamentalisme' ini. Semoga bermanfaat dan bisa sedikit memperkaya wawasan kita semua. Selamat menjalankan ibadah puasa yang tinggal dua hari lagi
Buku lainnya Karya Mas Hengki dan kawan Alumni UGM
link profil penulis https://www.facebook.com/profile.php?id=100053931159788
0 Komentar